Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, Mei 19, 2009

MAKALAH PENDEKATAN REALISTIK

BAB I
PENDAHULUAN
OLEH: ALPHIAN SAHRUDDIN
DILEMA MUTU PENDIDIKAN INDONESIA DAN SOLUSINYA


Beberapa kali, siswa dari Indonesia memenangkan ajang kompetisi matematika ataupun mata pelajaran lainnya. Bahwa itu adalah sebauah prestasi, kita tidak bisa memungkiri. Tetapi kita juga tidak bisa menutup mata terhadap kenyataan sesungguhnya. Para pemenang kompetisi itu bukanlah siswa yang bisa mewakili kemampuan siswa Indonesia pada umumnya. Dalam artian, kesenjangan antara para siswa pemenang kompetisi internasional itu dengan kebanyakan siswa di Indonesia sangatlah besar.

Mutu pendidikan Indonesia berada dalam dilema. Di satu sisi, pemerintah ingin meningkatkan standar kompetensi lulusan, tetapi jika standar ditingkatkan, maka tingkat kelulusan siswa hampir bisa dipastikan anjlok. Di sisi lain, pemerintah juga tidak ingin banyak siswa yang tidak lulus, maka standar kelulusanpun diturunkan. Akan tetapi, cara ini adalah cara yang tidak cerdas. Sesungguhnya yang harus dilakukan pemerintah adalah tetap mengupayakan peningkatan standar kelulusan, sebagai konsekuensinya, pemerintah juga harus berupaya meningkatkan kualitas siswa, agar mampu menjangkau standar kelulusan tersebut.

Tidak terkecuali dalam matematika. Terlebih lagi hingga saat ini matematika masih merupakan monster yang sangat menakutkan bagi sebagian besar siswa.
Matematika sebagai induk dari ilmu pengetahuan, seharusnya tidak ditakuti. Dan memang tidak ada yang perlu ditakutkan dari matematika.

Permasalahan ini tidak bisa hanya dilihat dalam satu sudut pandang saja. Maksudnya begini, kita tidak boleh menilai dilema mutu pendidikan matematika ini hanya disebabkan oleh ’matematika yang sulit’. Karena, jika kita berbicara tentang pendidikan matematika, tidak bisa terlepas dari tiga bahasan utama; matematika itu sendiri, bagaimana matematika diajarkan, dan bagaimana siswa belajar matematika.

Dengan demikian, jika pemerintah menurunkan standar kelulusan untuk mata pelajaran matematika, maka hal itu menunjukkan bahwa pemerintah masih memandang pendidikan matematika hanya dari sudut pandang ’matematika itu memang sulit’. Tentu saja hal ini tidak akan terjadi jika kita memandang pendidikan matematika secara komprehensif. Tentunya, kebijakan-kebijakan yang akan diambilpun tidak hanya sekedar menurunkan standar kelulusan untuk meningkatkan jumlah kelulusan. Tetapi kebijakan yang diambil juga menyangkut setidaknya tiga hal berikut ini;
1.Apa itu matematika; artinya materi apa saja yang layak dimasukkan ke dalam bidang pembahasan matematika; juga menyangkut penjenjangan materi matematika, dan lainnya.
2.Bagaimana guru mengajarkan matematika; meliputi kemampuan yang harus dimiliki guru untuk menyajikan matematika agar tidak lagi menyeramkan/
3.Bagaimana cara siswa mempelajari matematika; meliputi aspek psikologis siswa dalam hal kegiatan belajar mengajar.

Jika sudut pandang kita tentang pendidikan matematika telah kita luruskan, maka yang perlu kita lakukan selanjutnya adalah menentukan pendekatan apa saja yang paling efektif untuk pembelajaran matematika tertentu, bagaimana aplikasinya dalam aktivitas pembelajaran, dan bagaimana metode pengujiannya.

BAB II
PENDEKATAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA

Teori Konstruktifisme

Prinsip utama teori ini adalah bahwa ilmu pengetahuan (dalam hal ini matematika), dibangun sendiri oleh siswa secara induktif. Kita tidak lagi menilai siswa sebagai kertas kosong yang bisa kita coret-coret sesuka hati, atau seperti gelas kosong yang bisa kita isi cairan apapun semau kita. Sesungguhnya siswa memiliki konsep awal (ma’lumat sabiqat) terhadap konsep yang akan kita ajarkan. Pada perjalanannya nanti, bisa jadi konsep awal yang dimiliki siswa itu sesuai dengan yang seharusnya, atau malah bertentangan dengan konsep yang ingin kita bangun.

Sebagai contoh sederhana, ketika kita ingin membicarakan tentang satuan suatu ukuran, kita tidak bisa langsung menyampaikan bahwa satuan yang kita gunakan di sini adalah meter, gram, liter, dan satuan standar lainnya. Karena bisa saja siswa memiliki konsep satu jengkal, dua hasta, tiga depa, atau empat langkah dalam menyatakan jarak atau panjang. Atau bisa jadi mereka sudah memiliki konsep berat sebutir kurma adalah seberat sebutir kelereng. Jadi satuanya bukan gram atau pon, tapi kelereng.

Kita harus menggunakan satuan-satuan tidak standar yang dimiliki oleh siswa itu, untuk kemudian kita tunjukkan ketidak-konsistenannya. Kemudian kita jelaskan bahwa agar satuan yang kita gunakan sama dengan yang digunakan orang lain, maka diperlukan satuan standar, agar kemanapun kita pergi, emas seberat 5 gram akan tetap dihargai 5 gram, tanah seluas 200 meter persegi, tetap dihargai 200 meter persegi. Teknik ini mirip dengan teknik kungfu, menggunakan energi atau gerakan lawan, untuk mematahkan atau mengunci gerakan lawan itu sendiri.

Menurut pandangan konstruktifis, belajar tidak terfokus pada perolehan pengetahuan yang banyak. Sehingga seorang guru konstruktifis tidak terlalu dipusingkan dengan capaian kurikulum yang begitu padat. Baginya, tidak ada manfaatnya memaksakan siswa untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya tanpa adanya pemahaman yang melekat.

Menurut teori ini juga, guru bukan seseorang yang harus selalu diikuti jawabannya. Di dalam kelas konstruktifis para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya sendiri. Mereka berbagi strategi penyelesaian, berdiskusi, melakukan penyelidikan untuk menyelesaikan setiap masalah, atau bahkan membantah pendapat temannya atau guru sekalipun.

Disamping konstruktifisme, pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) juga merupakan teori yang menunjang pendekatan realistik. Jika konstruktifisme menyangkut urutan membangun pemahaman, maka CTL adalah teori yang berkaitan dengan materi matematika dikaitkan dengan kehidupan nyata. Permasalahan-permasalahan yang dimunculkan bukanlah permasalahan yang abstrak, tetapi merupakan permasalahan yang sehari-harinya dialami oleh siswa. Ketika menjelaskan persamaan linear, misalnya, guru tidak boleh langsung memperkenalkan konsep 2x + 3y = 8 dan x + 2y = 5. Guru bisa (bahkan harus) memulainya dengan masalah keseharian siswa. Berikut contohnya:

Saat jam istirahat sekolah, Japrut dan Soplo beli jajanan di dekat pagar sekolah. Japrut membeli dua biji pentol dan sepotong tahu, ia harus membayar 1200. sedangkan Soplo membeli tiga potong tahu dan sebiji pentol, ia harus membayar 1100. berapa harga sebiji pentol dan berapa harga sepotong tahu?

Pertanyaan tersebut termasuk dalam permasalahan kontekstual, mengaitkan konsep persamaan linear dengan keseharian yang sangat dekat dengan siswa, yaitu membeli pentol saat istirahat sekolah.

TIGA HAL TERKAIT PEMBELAJARAN MATEMATIKA
Seperti sudah disinggung dalam pendahuluan, jika kita membicarakan pendidikan matematika, maka tidak terlepas dari tiga hal, yaitu materi ajar, kemampuan guru, dan daya tangkap siswa.

Materi Ajar
Materi ajar harus diperlukan oleh siswa dan harus sesuai dengan taraf berpikir siswa pada periodenya. Kita tidak bisa mengajarkan konsep dimensi tiga kepada anak SD, sebagaimana tidak mungkin membahas matematika diskrit untuk anak SMP. Kita juga tidak akan memaksa anak-anak TK atau SD kelasi 1 untuk belajar matematika. Karena pada tahapan usia ini, anak-anak sedang intensif memahami bahasa. Mereka sedang belajar menyampaikan emosi dan pikiran mereka secara verbal.

Ada sebuah video penelitian yang sangat menarik untuk disimak. Video ini mendukung teori yang diusung dalam RME, bahwa ilmu merupakan sebuah skemata. Ketika seseorang memulai belajar, maka sebuah aliran listrik harus melompati jurang antara dua sel saraf. Proses penyeberangan pertama adalah proses yang paling sulit, kedua dan ketiga adalah proses yang masih sulit, barulah pada proses keempat, kelima dan keenam, belajar jadi lebih mudah.

Dengan memahami bahwa proses memulai belajar adalah sesuatu yang sangat sulit, tentu kita tidak akan keliru dalam menentukan materi ajar yang cocok untuk periode usia belajar masing-masing siswa.

GURU; TEKNIK MENGAJAR

Memahami Siswa
Selain memahami bahwa belajar memerlukan tahapan, seorang guru juga harus berupaya memahami siswa. Ada cerita menarik yang dituliskan dengan sangat cantik oleh Salim A Fillah dalam bukunya Jalan Cinta Para Pejuang. Ada seorang anak TK yang setiap harinya mewarnai kertas gambarnya dengan warna hitam. Di saat teman-temannya tengah menggambar gunnung, laut, atau sungai, dia tetap saja mewarnai kertas gambar ukuran A3-nya dengan warna hitam pekat. Di rumah, ternyata anak aneh ini terus saja melanjutkan kegilaannya, hingga orangtuanya harus bolak-balik toko alat tulis, karena kehabisan krayon warna hitam. Merasa cemas dengan kejiwaan anaknya, orangtuanya membawanya ke psikiater. Kemudian tim psikiater menyuruh anak aneh itu meneruskan hobinya yang mengerikan itu. Semakin gila. Anak tersebut semakin bernafsu mewarnai setiap kertas A3 yang diberikan padanya dengan warna hitam, hanya saja dengan kepekatan yang berbeda.

”Aha!” serunya setelah menyelesaikan karya hitamnya yang ke 400. dia meminta tim psikiater untuk menyusun kertas-kertas hitam itu sesuai panduannya, 20 horizontal, 20 vertikal. Menakjubkan, ternyata kertas-kertas hitam berukuran A3 itu adalah sebuah puzzle, yang jika disusun dengan benar akan menjadi gambar seekor paus bongkok, dalam ukuran aslinya.

Menakjubkan bukan? Ya, dan anak seperti itu tak cuma ada satu orang di dunia ini. Andai saja guru yang menghadapi anak itu tidak mengerti dengan ‘keanehan anak itu, mungkin guru tersebut akan mencap bahwa anak tersebut memiliki kepribadian yang gelap.

Terlebih lagi dalam matematika. Ada beribu cara untuk mencapai satu kesimpulan yang sama dalam menyelesaikan permasalahan matematika. Seorang guru harus memahami bahwa siswa mungkin saja menjawab dengan cara yang tidak diajarkannya sekalipun. Selama alur logika yang digunakan siswa dalam menyelesaikan soal tersebut juga benar. Maka, menjadi guru yang baik, adalah menjadi guru yang mampu memahami cara berpikir siswa yang mungkin berbeda.

Memahami Materi Dan Target
Ada yang tak kalah penting dengan kemampuan guru memahami siswa, yaitu memahami materi ajar. Adalah tidak lucu jika seorang guru tiba-tiba kikuk di depan kelas karena tidak mampu menjawab pertanyaan siswanya.

Guru juga harus memahami target yang ingin dicapai dari pembelajaran. Sehingga guru tidak akan berlarut-larut dalam permasalahan sepele yang bisa membelokkan tujuan pembelajaran.

Guru Harus Mengerti Teknik Penyampaian Yang Baik
Hal lain yang sangat penting untuk disimak adalah teknik penyampaian. Banyak guru yang sangat menguasai materi ajar, tetapi dia tidak mengerti bagaimana menyampaikannya dengan baik. Seperti halnya seorang penembak yang memiliki peluru-peluru yang hebat, tetapi tidak mengerti bagaimana caranya menembakkan perluru tersebut agar tepat sasaran. Banyak guru yang datang ke kelas sekedar untuk membacakan materi yang telah disusunnya, menuliskan contoh soalnya, menyampaikan cara menyelesaikannya, memberikan soal pada siswa, meminta siswa mengerjakannya di depan kelas, dan seterusnya dengan datar-datar saja. Bagaimana siswa bisa tertarik dengan pelajaran, jika guru yang menyampaikannya saja tidak menarik? Karena itu, menjadi keharusan bagi seorang guru matematika untuk menguasai teknik menyampaikan materi dengan baik.

Siap Dikoreksi
Dalam pendekatan realistik, guru tidak sebagai dewa kebenaran, hanya sebagai fasilitator. Pendapat guru tidak lagi harus ditelan mentah-mentah. Kita sebagai guru juga tidak lagi terlalu dipusingkan dengan pendapat siswa yang bertentangan dengan kita. Jika memang alur logika yang digunakan oleh siswa lebih kuat dibandingkan dengan pendapat kita, maka mengakui kelemahan pendapat kita adalah sebuah kebijaksanaan.

Jika kita tetap berkeras dengan pendapat kita yang terbukti salah, maka siswa akan berpikir bahwa kita adalah guru yang keras kepala. Di kesempatan berikutnya, siswa tidak lagi tertarik untuk bertanya, apalagi mempertanyakan. Dan yang paling berbahaya adalah jika siswa tidak lagi berminat dengan pelajaran kita.

Empati
Sebuah penelitian sederhana dari seorang motivator dari Surabaya, N. Syarif Faqih, menunjukkan betapa dahsyatnya empati dan berupaya empati. Masing-masing perserta berhadap-hadapan dengan seorang peserta lainnya. Satu orang diminta bergerak, duduk, menunduk, atau melakukan apa saja yang diinginkannya. Sementara pasangannya diminta mengikuti semirip mungkin gerakan orang itu. Menakjubkan, setelah beberapa lama, masing-masing pasangan tersebut menjadi sejiwa. Ketika motivator bertanya kepada si peniru tentang apa yang sedang dirasakan dan dipikirkan oleh orang yang ditirunya, ternyata jawabannya tepat. ”Dia sedang memikirkan biaya kuliahnya, dia juga memikirkan biaya untuk berobat isterinya”. Tepat, setelah dicek, memang itulah yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang yang disuruh bergerak-gerak tadi.

Dalam pembelajaran matematika, pendekatan empati tentu sangat diperlukan. Empati adalah berupaya memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan siswa. Jika kita berempati pada siswa, kita tidak akan memaksa siswa untuk menyelesaikan soal yang rumit dalam batasan waktu yang tidak manusiawi. Jika kita berempati pada siswa, kita akan berupaya memainkan intonasi bicara agar siswa mampu menangkap apa yang kita sampaikan. Jika kita berempati pada siswa, kita akan mengerti bahwa siswa memiliki daya tangkap yang berbeda-beda terhadap suatu materi ajar, sehingga kita tidak menyamaratakan mereka.

SISWA; TEKNIK BELAJAR

Bertahap Sesuai Usia
Tentang tahapan usia belajar, sudah sempat disinggung di bagian sebelumnya. Kita perlu menelaah lagi, apakah penjenjangan usia belajar yang ada saat ini sudah cocok dengan karakter psikologis maupun kognitif siswa itu sendiri. Apakah memang sudah tepat jika kita membaginya enam tahun di sekolah dasar, 3 tahun di sekolah menengah pertama dan tiga tahun di sekolah menengah atas. Ada batasan yang menurut para psikolog sangat momentous. Momentous adalah sesuatu yang sangat bisa membelokkan kita. Dan dalam penjenjangan usia belajar, hal yang paling momentous adalah pubertas, yaitu masa transisi dari anak ke remaja. Biasanya, pubertas terjadi bukan pada masa SMP, melainkan pada masa-masa akhir jenjang SD. Pubertas ini sangat berpengaruh terhadap fisik anak, terlebih lagi terhadap kejiwaannya. Adalah wajar, jika pubertas begitu mengganggu anak di akhir sekolah dasarnya. Padahal masa-masa itulah yang sangat genting, karena pada masa itu mereka harus menempuh ujian akhir. Jika kemudian hasil ujiannya tidak memuaskan, kemungkinan besar itu merupakan pengaruh dari pubertas tersebut.

Belajar adalah Membangun Jalan (Konstruktif-Induktif)
Bahwa belajar adalah membangun jalan, kita sudah menyinggungnya di bagian sebelumnya. Hanya saja penekanannya di sini adalah, guru harus menjadi perantara bagi siswa untuk membangun jalan belajarnya. Guru harus aktif mengontrol perkembangan siswa, guru harus betul-betul merancang strategi terbaik agar proses ’pembangun jalan’ tersebut berjalan lancar. Jangan sampai guru malah menciutkan semangat belajar siswa dengan perkataan, tindakan, ataupun sekedar tatapan merendahkan.

Wahyudin, penulis buku-buku parenting, pernah menceritakan pengalaman beliau dalam mendidik anaknya. Anak sulungnya menanam biji jagung, tetapi masalahnya yang ditanam bukan benih jagung, tetapi biji jagung bakar, dengan harapan akan tumbuh pohon jagung di samping rumahnya. Wahyudin tidak langsung menghentikan kreatifitas anaknya dengan mengatakan bahwa itu tindakan konyol, tetapi beliau memberikan suatu tantangan kepada anaknya, apakah nanti jagungnya bisa tumbuh atau tidak. Akhirnya anaknya mendapat pelajaran sendiri, karena setelah ditunggu-tunggu, pohon jagung tak juga tumbuh. Kita bisa bayangkan, apa yang akan terjadi seandainya beliau langsung menghentikan tindakan konyol anaknya tersebut. Bisa jadi semangat konstruktif anaknya akan mati. Anak akan jera untuk melakukan hal-hal baru. Anak tidak lagi berpikir untuk membangun pengetahuannya.

Begitupula dalam proses pembelajaran kita. Biarkanlah anak menyelesaikan permasalahan matematika dengan caranya. Jika dengan cara itu dia tidak dapat menyelesaikannya, barulah kita menawarkan sebuah solusi (yang sebenarnya adalah konsep yang sudah ada) untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Kurva Konsentrasi
Penting bagi seorang guru untuk memahami kurva konsentrasi. Jika dinyatakan dalam bentuk grafik, dengan sumbu x adalah waktu dan sumbu y adalah tingkat konsentrasi, maka kurva konsentrasi siswa membentuk sebuah para bola terbuka ke atas. Pada awal-awal kita membuka pelajaran (sekitar 15 menit pertama), konsentrasi siswa sedang berada di puncaknya. Tetapi setelah 20 menit, 30 menit, hingga satu jam kemudian, konsentrasi siswa makin rendah, hingga mencapai titik terendahnya di pertengahan pembelajaran di kesempatan itu. Dan biasanya konsentrasi akan kembali membaik menjelang akhir peertemuan, terutama saat guru menunjukkan tanda-tanda ingin menutup pelajaran.

Kita harus memahami itu. Jika kita mengajar dengan datar saja, tentu konsentrasi siswa akan sampai pada titik terrendahnya. Karena itu, setiap limabelas menit, diperlukan sebuah kejutan untuk mempertahankan konsentrasi siswa. Jika tidak, jangan salahkan siswa jika mereka tidak bisa menangkap dengan baik apa yang kita sampaikan.

Teknik Mempertahankan Konsentrasi Siswa
1.Permainan
Ada beberapa keuntungan belajar dengan menggunakan permainan, berikut di antaranya:
Meningkatkan pemahaman
Meningkatkan konsentrasi
Meningkatkan proses berfikir
Meningkatkan kerja otak
Menyenangkan dan menantang

2.Media / alat peraga
Berikut ini adalah keuntungan yang didapat dari penggunaan media pembelajaran;
Membuat siswa tertarik dengan pelajaran
Membantu siswa memahami konsep-konsep abstrak menjadi lebih sederhana
Meringankan kerja guru
Siswa bisa lebih aktif dalam proses belajar mengajar

3.Humor yang edukatif
Selama ini kita beranggapan bahwa ekspresi wajah adalah cerminan dari perasaan hati. Itu benar, tetapi tidak lengkap. Karena ternyata ekspresi wajah juga mampu memberikan pengaruh pada perasaan hati. Dalam matematika, hubungan antara ekspresi wajah dan perasaan adalah biimplikasi, masing-masing saling mempengaruhi.
Sebuah penelitian unik mampu membuktikan teori ini. Saat itu dihadirkan dua kelompok responden untuk menonton film kartun yang sama. Hanya saja, mereka menonton dengan ekspresi yang berbeda. Kelompok pertama, diminta menggigit pensil dengan giginya, yang menyebabkan mereka berekspresi seperti orang tersenyum. Sedangkan kelompok kedua, diminta menjepit pensil dengan bibirnya, yang menyebabkan mereka berekspresi sebagaimana orang yang sedang cemberut.
Hasilnya menakjubkan. Semua responden yang berekspresi tersenyum (karena menggigit pensil) menyatakan bahwa kartun tersebut sangat lucu. Sedangkan kelompok yang berekspresi cemberut (karena menjepit pensil dengan bibirnya) menyatakan bahwa kartun tersebut tidak lucu sama sekali.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekspresi mempengaruhi perasaan hati seseorang. Karena itu, dalam pembelajaran matematika, guru bertanggungjawab membuat siswa selalu berekspresi positif (tersenyum dan antusias). Karena jika siswa tersenyum, materi yang kita sampaikan akan lebih mudah diterima oleh siswa.

Namun, seorang guru juga harus memperhatikan etika dalam memilih humor. Pastikan humor yang kita berikan adalah humor yang mendidik. Atau jika tidak bisa menemukan humor yang mendidik, pastikan bukan humor yang bermuatan negatif.

BAB III
PENILIAIAN PEMBELAJARAN MATEMATIKA


Penilaian atau pengujian adalah strategi dalam pemecahan masalah pembelajaran melalui pengumpulan dan penganalisisan informasi untuk pengambilan keputusan berkaitan dengan semua aspek pembelajaran.

Selama ini kita salah kaprah dengan peniliaian. Kita sering beranggapan bahwa penilaian hanya tentang angka-angka pada lembar jawaban siswa, atau pada tugas-tugas yang diberikan tiap minggunya, dan hal-hal menyangkut kemampuan tertulis lainnya. Jika begitu, sempit sekali pemahaman kita tentang penilaian. Penilaian bukanlah sekedar tes di akhir pembelajaran, namun harus terlaksana pada saat pembelajaran berlangsung

Dilihat dari definisinya, ada beberapa kata kunci yang harus ada dalam penilaian, yaitu:
1.Pengumpulan informasi;
2.Penganalisisan informasi;
3.Mengambil keputusan;

Berdasarkan definisi itu, penilaian hanya akan bisa dilakukan jika memenuhi ketiga syarat itu. Sebuah pendekatan atau metode pembelajaran, dikatakan berhasil dalam metode penilaiannya jika mampu melingkupi ketiga kata kunci di atas. Artinya, metode tersebut harus mampu untuk membantu guru mengumpulkan informasi, harus mampu membantu guru menganalisa informasi yang telah dikumpulkan, dan hasil analisa tersebut, harus mampu membantu guru mengambil keputusan pembelajaran.

Ada masalah penting dalam penilaian, yaitu merancang alat penilaian yang mampu merefleksikan hasil belajar siswa. Menurut Susan Mc. Kenney dan kawan-kawannya dalam buku Instructional Design Research, salah satu permasalahan yang sering menghalangi keberhasilan pembelajaran adalah inkoherensi antara masing-masing educational policy, yaitu guru, sekolah dan metode pengujian.

Pendekatan matematika realistik dianggap tidak berhasil diterapkan di Indonesia (jika keberhasilan hanya diukur dengan kemampuan siswa menjawab soal UAN), disebabkan oleh ketidak-cocokan antara metode pembelajaran yang digunakan, dengan jenis soal yang diujikan.

Soal, sebagai salah satu alat uji yang paling mudah digunakan, sering tidak mampu mengukur keberhasilan belajar siswa. Karena itu, diperlukan bantuan instrumen lain untuk mengukur keberhasilan pembelajaran matematika, yaitu observasi, bertanya, wawancara, tugas, asesmen diri, hasil pekerjaan siswa, jurnal, tes, dan portofolio.

Karena hasil akhir dari penilaian adalah untuk mengambil keputusan mengenai seluruh aspek pembelajaran matematika, maka, semua instrument penilaian di atas harus betul-betul digunakan untuk mengambil keputusan, terkait pendekatan pembelajaran yang akan digunakan berikutnya dan metode pengujian yang cocok digunakan untuk pendekatan tersebut.
Untuk pendekatan pembelajaran realistik, pengujian dengan soal jenis multiple choice, tidak tepat digunakan, karena jenis soal tersebut sering tidak bisa menunjukkan kualitas siswa. Bisa saja siswa mendapatkan nilai bagus karena kebetulan secara tidak sengaja memilih pilihan jawaban yang tepat.

Soal dengan jenis uraian cukup bagus untuk menguji keberhasilan belajar siswa. Begitu juga dengan ujian lisan, kita bisa meminta siswa untuk menjelaskan apa yang dia pahami dari materi yang telah dipelajari. Metode seperti ini mampu untuk merefleksikan hasil belajar siswa.

PENUTUP

Meski unggul dalam mengembangkan kemampuan siswa, tetapi pendekatan pembelajaran realistik bukan berarti tanpa tantangan. Karena dengan metode pengujian yang lebih kualitatif, guru akan kesulitan memberikan skor untuk keberhasilan siswa dalam belajarannya. Mungkin kita perlu membiasakan penilaian yang tak lagi diwakili oleh angka-angka. Karena selama ini, skor (berupa angka) tersebut digunakan untuk menentukan batasan kelulusan dan untuk memberikan tingkatan prestasi di antara siswa. Sedangkan dalam Pendekatan Realistik, hasil belajar siswa tidak dibandingkan dengan siswa lainnya, melainkan dibandingkan dengan kriteria kelulusan yang telah ditentukan. Berarti, tinggal satu lagi permasalahan kita, yaitu bagaimana membuat kriteria kelulusan yang kualitatif, yang tidak selalu dibatasi dengan angka. Dan tentu ini merupakan sebuah tantangan bagi kita yang peduli dengan kualitas pembelajaran di negeri kita.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Sutarto. 2004. Pendidikan Matematika Realistik. Banjarmasin: Penerbit Tulip.

Kenney, Susan Mc., dkk. 2007. Instructional Design Research

Abernathy, Rob, dkk. Hot Tips; 25 Ways to Enchance Your Effectiveness as a
Communicator

Fillah, Salim A. 2008. Jalan Cinta Para Pejuang. Yogyakarta: Pro U Media

Fillah, Salim A. 2006. Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim. Yogyakarta: Pro U Media

Wahyudin, 2005. Maa Aku Bisa!. Yogyakarta; Pro U Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar